Selasa (19/1) lalu, misalnya, Polres Lamongan, Jawa Timur, menyebutkan sedikitnya ada 50 warga Lamongan yang dipastikan bergabung dengan Gafatar, yang disebut-sebutbermarkas besar di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar), seperti dilaporan koresponden Suara Pembaruan di Jawa Timur.
Mereka terindikasi berdasarkan surat keterangan pindah secara berkelompok dari tempat tinggal mereka di delapan wilayah kecamatan, di antaranya di Kecamatan Kalitengah, Turi, Karangbinangun, Deket, Pucuk, Lamongan, Sambeng dan Kecamatan Blukuk, Kabupaten Lamongan.
“Dari 50 orang warga Lamongan itu tercatat ada 16 orang yang insyaf dan menyadari telah terbujuk pengurus Gafatar, balik kembali ke Lamongan, akhir Desember 2015 baru lalu. Masih ada 34 orang lainnya masih ‘terjebak’ sebagai pengikut Gafatar dan belum bisa kembali karena tidak memiliki bekal lagi,” ujar Kapolres Lamongan AKBP Trisno Rachmadi.
Pengikut Gafatar tersebut, yang menjadi sasaran adalah warga pelosok desa, dan rata-rata dengan kondisi ekonomi relatif lemah.
“Warga Lamongan itu berangkat ke Kabupaten Mempawah, Kalbar pada medio 2015 secara berkelompok itu dengan alasan hijrah. Mereka dijanjikan ditampung di rumah-rumah per kepala keluarga sendiri-sendiri, dengan diberi jaminan kecukupan finansial,” kata Trisno.
Dikarenakan janji pengurus Gafatar itu hanya impian dan mereka justru bekerja bertani mengelola lahan Gafatar tanpa dibayar, sebagian dari mereka kemudian berusaha kembali ke kampung halamannya dengan berbagai cara.
Sementara itu dilaporkan, ada sebanyak 25 orang warga, terdiri dari 22 orang warga Desa Pakisaji, Kecamatan Kademangan dan 3 orang warga Desa Sumberejo, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar, Jatim, terdata sebagai anggota Gafatar. Mereka yang berjumlah 22 orang meminta surat pindah untuk bekerja di ke Pontianak Timur, Kalbar dan 3 orang lainnya bekerja di lahan milik Gafatar di Kecamatan Sungai Raya, Kuburaya, Kalbar.
“Mereka meminta surat pindah ke kepala desa (Kades) untuk bekerja di Kalbar,” ujar Kapolres Blitar AKBP Slamet Waloya yang dikonfirmasi terpisah, Rabu (20/1) lalu.
Hasil penyelidikan kepolisian, ke-25 warga Blitar itu berangkat ke Kalbar direkrut Nanang Prasetyo (32) warga Kademangan yang sehari-hari berprofesi sebagai dosen Akademi Kebidanan di Kota Blitar. Sedangkan rumah kontrakan yang dijadikan kantor sekretariat Gafatar di Desa Bendowulung, Kecamatan Sanan Kulon, Blitar sudah dikosongkan sejak awal Desember 2015 yang lalu.
Kasus lain adalah Muji Utomo warga Mojokerto yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris, menurut pengakuan Kepala Urusan (Kaur) Pemerintahan Desa Puri, Napsiharto meninggalkan desa dan pergi ke Pontianak, Kalbar. Selain itu, menurut Napsiharto, Muji memang aktif sebagai pengurus Gafatar di daerahnya. Tak lama, anak Muji bernama Walan Yudli’ani yang tinggal dan bekerja di Pare, Kabupaten Kediri juga ikut-ikutan pindah ke Pontianak.
Ada juga sebuah keluarga di Kediri yang nekat meninggalkan tempat tinggalnya dan juga hijrah ke Pontianak. Menurut pengakuan Minghaj Maytigor, ibu, adik, dan kakaknya berserta sejumlah keluarga lain pergi ke Pontianak sejak Oktober tahun lalu. Menurut Minghaj ibunya aktif di Gafatar sejak 2011.
Sama halnya dengan Tatik Murdiati yang anak dan menantunya yang juga pergi ke Kalimantan sejak Oktober 2015. Menurut pengakuan Tatik, ia baru mengetahui putrinya Yuanita Wulansari dan menantunya patria Setyawan adalah anggota Gafatar setelah melihat ada jaket yang sama yang dimiliki putri dan menantunya dengan jaket milik dr Rica Tri Handayani yang dinyatakan hilang pada akhir 2015 lalu.
Kenapa Kalimantan?
Gafatar menurut penuturan ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Amin Djamaludin, adalah organisasi masyarakat yang memiliki pokok-pokok ajaran yang berupa dalil yang sangat kontroversial dari penggantian kalimat syahadat, tidak wajib melakukan salat dan puasa, hingga mengakui Ahmad Moshaddeq sebagai nabi setelah Nabi Muhammad dengan nama Al-Masih Al-Maw’Ud.
Dari hasil penelitian yang dihimpun Amin, ada enam tahapan yang dirancang sejak pendirian Al-Qiyadah AL-Islamiyahyang merupakan tahapan menuju pembentukan Negara islam.
Pertama adalah Sirrun, yaitu gerakan rahasia, berdakwah rahasia, dan merekrut anggota secara rahasia yang menurut Ami telah dilakukan sejak penobatan Moshaddeq tahun 2006 lalu dengan pembentukan Al-Qiyadah Al-Islamiyah hingga saat ini menjadi Gafatar.
Tahapan kedua, Jahrun, yaitu berdakwah secara terang-terangan, mengaji secara terang-terangan, merekrut anggota secara terang-terangan.
Hal ini dilakukan jika menurut perhitungan mereka kekuatannya telah mumpuni dalam melawan kekuatan kafir, kata Amin, yang mengaku telah mendalami ajaran-ajaran sesat di Indonesia sejak tahun 1968.
Ketiga, Hijrah, yaitu representasi dari sejarah perpindahan dari Mekah ke Medinah untuk berdirinya ibu kota Negara yang mereka sebut Ummul Qura. Hal inilah yang menurut Amin yang sedang dilakukan anggota Gafatar, namun apabila dilihat dengan mata awam terlihat hanya isu menghilangnya anggota keluarga semata.
Tahapan ketiga ini menunjukkan bahwa sebenarnya anggota Gafatar telah berkomitmen hingga akhirnya memutuskan hijrah. Hal yang juga menarik, laporan masyarakat akan hilangnya anggota keluarga mereka banyak yang mengaku pergi ke daerah Kalimantan dengan alasan ikut suami bekerja sampai terang-terangan ingin mengurusi Gafatar.
Dengan banyaknya anggota Gafatar yang pergi ke Kalimantan, merujuk pada tahapan yang telah mereka lalui, tampaknya Kalimantan menjadi sebuah daerah yang penting sebagaimana dengan tahapan ketiga, yaitu hijrah Makkah ke Madinah untuk berdirinya ibu kota Negara yang mereka sebut Ummul Qura.
Menurut Amin, Gafatar telah membeli sejumlah lahan di Kalimantan yang akan digunakan sebagai Ummul Qura mereka.
“Pada awalnya anggota Gafatar yang datang ke sana hanya 60 kepala keluarga. Mereka datang ke Kalimantan dengan berdalih akan bertani. Namun, setelah masyarakat setuju tanahnya dibeli, ternyata mereka tidak menunjukkan kegiatan pertanian,” Ujar Amin di Jakarta, senada dengan pernyataan Kapolres Lapmongan.
“Tapi, doktrin-doktrin kemudian mulai disampaikan kepada masyarakat sekitar," tambahnya.
Sejumlah warga eks Gafatar berada di pemukiman mereka di kawasan Monton Panjang, Dusun Pangsuma, Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalbar, 19 Januari 2016. (Foto: Antara) |
Tahapan keempat, Qital, yaitu perang terbuka dengan orang kafir demi kemenangan agama Islam versi mereka.
Tahapan kelima, Futuh, yaitu menang dari peperangan yang melawan orang kafir.
Dan tahapan keenam, Khilafah, yaitu membentuk pemerintahan negara Islam versi mereka dengan memberlakukan hukum Islam versi mereka.
“Mereka sangat yakin dengan tahapan kelima, Futuh. Mereka sangat yakin akan menang dengan adanya perang tersebut,” Ujar Amin. (beritasatu.com)
Tidak ada komentar:
KOMENTAR
Silahkan beri komentar dengan bijak dan sesuai dengan topik.