Menjawab Tantangan MEA

Selasa, 19 Januari 2016

Pemerintah dan pelaku usaha tak perlu panik menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang resmi berlaku mulai 1 Januari 2016 pekan lalu. Disepakati di Bali pada 2003, integrasi sepuluh negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) menjadi basis produksi dan pasar bersama ini memang tak bisa lagi ditunda.

Dengan berlakunya MEA, era kompetisi bebas di tingkat regional telah dimulai. Dengan dibukanya pasar Indonesia, tak ada lagi proteksi buat pelaku bisnis dalam negeri. Arus modal, barang, dan jasa dari sesama negara ASEAN bisa masuk ke Indonesia tanpa hambatan. Siapa lebih kompetitif, dia yang menang.

Untuk itu, produktivitas orang Indonesia tentu harus unggul. Kemampuan buruh pabrik garmen di Semarang untuk memproduksi pakaian jadi harus lebih baik dibandingkan dengan buruh di Phnom Penh, Vietnam, misalnya. Produksi beras petani Karawang harus lebih efisien ketimbang petani di Yangoon, Myanmar.

Sayangnya kita masih tertinggal. Misalnya, hal ini bisa dilihat dari indikator ketersediaan infrastruktur dan kemudahan akses perbankan. Menurut data Bank Dunia, per 2014, Indonesia hanya menggunakan listrik 730 kilowatt per hour (kWh) per orang. Itu pun byar-pet. Pada saat yang sama, konsumsi listrik per kapita warga Malaysia sudah 4.300 kWh. Jangan bandingkan dengan Singapura yang penggunaan listriknya mencapai 8.900 kWh per kapita.

Belum lagi soal akses perbankan. Di Malaysia, 81 persen warganya yang berusia 15 tahun ke atas punya rekening bank. Adapun di Filipina hampir 60 persen. Bandingkan dengan Indonesia, yang hanya 36 persen warganya punya rekening bank.

Indikator lain: jumlah pengguna Internet. Dibandingkan dengan sejumlah negeri jiran, jumlah pengguna Internet Indonesia juga rendah. Mengacu data Bank Dunia tahun lalu, jumlah orang Indonesia yang menggunakan Internet hanya 17 persen, jauh di belakang Singapura yang sudah 82 persen dan Malaysia yang mencapai 67 persen. Angka-angka itu menunjukkan bahwa besar kemungkinan, pada fase pertama integrasi ekonomi ASEAN, Indonesia bakal menjadi korban. Akan ada serbuan produk asing di pasar dalam negeri yang bakal membuat produsen lokal gigit jari.

Tak perlu pesimistis, harapan masih ada. Dari 622 juta orang di Asia Tenggara, 250 juta ada di Indonesia. Dari total ekonomi ASEAN yang bernilai US$ 2,6 triliun, ekonomi Indonesia adalah yang terbesar. Kita punya modal untuk membalikkan keadaan dan memenangi kompetisi pada babak selanjutnya.

Terbukanya gerbang Indonesia tak hanya berarti masuknya produk barang dan jasa, tapi juga investasi. Kucuran dolar kita butuhkan untuk menggenjot kapasitas infrastruktur, mendiversifikasi basis produksi dari komoditas dan energi menjadi manufaktur, serta memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Jika pemerintah fokus meningkatkan produktivitas pelaku usaha di dalam negeri, MEA akan menjadi babak awal kisah sukses ekonomi Indonesia. (tempo.co)

Tidak ada komentar:

KOMENTAR

Silahkan beri komentar dengan bijak dan sesuai dengan topik.

 
Copyright © 2018 Sedulur Ngopi- All Rights Reserved
Distributed By My Blogger Themes | Design By Herdiansyah Hamzah