Menyikapi Kehadiran Gafatar

Jumat, 22 Januari 2016

Sejumlah anak dari warga eks Gafatar bermain bersama anggota prajurit Yon 643 Wanara Sakti Anjungan, di pemukiman mereka di kawasan Monton Panjang, Dusun Pangsuma, Desa Antibar, Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalbar, 19 Januari 2016. Antara/Jessica Helena Wuysang
Kelompok aktivis hak asasi manusia Setara Institute mengingatkan bahwa para pengikut kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) -- yang sudah dilarang pemerintah -- adalah juga warga negara Indonesia yang dilindungi hak-haknya.

"Pengikut Gafatar adalah warga negara yang berhak atas perlindungan dan hak atas rasa aman. Apapun pandangan keagamaan Gafatar, negara tidak boleh membiarkan mereka mengalami persekusi atau penganiayan dari siapapun," kata salah satu aktivis Setara, Bonar Tigor Naipospos dalam pernyataannya awal pekan ini.

Setara menyoroti terjadinya amuk massa dan pembakaran pemukiman pengikut Gafatar di Mempawah, Kalimantan Barat, sebagai dampak dari pernyataan menghakimi dan stereotip yang menganggap Gafatar sebagai aliran sesat, setelah Majelis Ulama Indonesia menyatakan Gafatar sebagai aliran sesat.

"Setara Institute mengingatkan agar pemerintah bekerja berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan bukan pada fatwa-fatwa yang sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum. Penyesatan oleh lembaga keagamaan tertentu yang diafirmasi oleh negara, dipastikan akan melahirkan kekerasan massa," kata Bonar.

Pemberitaan tentang Gafatar mulai gencar akhir tahun lalu setelah muncul berbagai laporan hilangnya anggota keluarga dari berbagai daerah. Banyak dari warga yang dilaporkan hilang itu merupakan orang-orang terdidik dan mapan secara ekonomi, serta sudah berkeluarga.

Namun demikian, informasi tentang Gafatar itu sendiri sangat minim dan sejumlah pengurus yang tercantum dalam situs kelompok tersebut juga kemudian susah dicari. Situs itu sendiri sudah tak bisa diakses lagi sekarang.

“Saya rasa masih perlu lebih banyak bukti yang kuat yang menunjukkan orang-orang yang hilang itu benar-benar anggota Gafatar,” Ujar Benediktus, salah seorang Mahasiswa di Bandung, Jawa Barat.

Menurutnya, pemberitaan di media massa memperkeruh suasana karena kerap kali latah dan seakan-akan menghubungkan semua kejadian hilangnya orang menjadi anggota Gafatar. Hal ini pula yang menurutnya menjadi penyebab adanya kerusuhan seperti yang terjadi di Mempawah.

Namun, di sisi lain ada pula yang menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah karena Gafatar sempat terdaftar sebagai organisasi masyarakat yang sah, tetapi ternyata menyebarkan ajaran sesat.

“Wajar kalau pengikut Gafatar itu banyak karena kalangan yang direkrut itu orang awam atau yang tak mendalami agama,” Ujar Julian, seorang pekerja swasta di Bandung, Jawa Barat.

“Tentu mereka akan lebih tergoda dengan bahasa dan aksi yang manis yang tentu menjadi provokasi yang efektif,” tambahnya.

Dengan maraknya isu Gafatar di tanah air, beberapa aktivitas Gafatar di beberapa daerah juga sempat dibubarkan karena dianggap menyesatkan.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegaskan kini ormas Gafatar tidak terdaftar di Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) sebagai organisasi resmi.

MUI juga memberikan surat penetapan yang di dalamnya disebutkan alasan-alasan mengapa ormas tersebut sesat, diantaranya adanya 'modifikasi' syahadat dengan menyebut Ahmad Moshaddeq sebagai nabi. Kedua, adanya nabi setelah Nabi Muhammad. Ketiga, tidak menwajibkan puasa, salat serta haji.

Dengan adanya tiga fakta tersebut, maka MUI menetapkan ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah merupakan ajaran sesat dan menyesatkan serta berada di luar Islam, dan orang yang mengikuti ajaran tersebut adalah murtad (keluar dari Islam). (beritasatu.com)

Tidak ada komentar:

KOMENTAR

Silahkan beri komentar dengan bijak dan sesuai dengan topik.

 
Copyright © 2018 Sedulur Ngopi- All Rights Reserved
Distributed By My Blogger Themes | Design By Herdiansyah Hamzah